Forjasida.id | Tahun 1961, Prof. Dr. Ir. Sedijatmo menemukan sistem Pondasi Cakar Ayam sebagai alternatif pemecahan masalah tanah di bawah pondasi yang terlalu lembek.
Sejak saat itu penggunaan Pondasi Cakar Ayam semakin banyak, baik sebagai pondasi landasan pacu pesawat terbang maupun sebagai pondasi bangunan bertingkat
Baca Juga:
Peran Kejaksaan dalam Perjuangan Kemerdekaan: Jejak Tokoh-Tokoh Terkemuka
Pondasi memegang peranan penting dalam menentukan usia dan kestabilan suatu konstruksi bangunannya. Pada dekade terakhir ini, sistem pondasi telah berkembang dengan berbagai variasi. Akan tetapi, cukup sedikit sistem pondasi untuk mengatasi masalah membangun konstruksi di atas tanah lembek.
Melansir kitasipil.com, sistem pondasi yang konvensional, cenderung hanya menyesuaikan dengan besarnya beban yang harus didukung. Tetapi, kurang mempertimbangkan kondisi tanah lembek. Akibatnya, bangunan itu mengalami akan cepat mengalami penyusutan atau ketidakstabilan, seperti penurunan, condong, bahkan roboh. Hal itu tentu akan merugikan pemilik dan kontraktor yang terlibat.
Perlakuan yang seimbang antara beban dan kondisi tanah lembek perlu dipecahkan. Problema ini yang dihadapi oleh Prof. Dr. Ir. Sedijatmo tahun 1961 yang kala itu pejabat PLN harus mendirikan tujuh menara listrik tegangan tinggi di daerah rawa-rawa Ancol Jakarta.
Baca Juga:
Dukungan Tokoh Lintas Agama Pada FKUB Sulteng Upaya Peningkatan Kerukunan Antara Umat Beragama
Hasilnya, dua menara berhasil didirikan dengan susah payah dengan sistem pondasi konvensional. Sedangkan, sisanya yang lima lagi masih terbengkalai. Menara ini akan dugunakan untuk menyalurkan listrik dan pusat tenaga listrik di Tanjung Priok ke Gelanggang Olah Raga Senayan yang akan diselenggarakan Asian Games 1962.
Karena waktu sangat mendesak, sistem pondasi konvensional sangat sulit diterapkan di rawa-rawa tersebut, maka dicarilah sistem baru untuk mengatasi masalah tersebut dan tercetus ide Ir. Sedijatmo untuk mendirikan menara di atas pondasi yang terdiri dari plat beton yang didukung oleh pipa-pipa beton di bawahnya. Pipa dan plat itu melekat secara monolit (bersatu), dan mencengkeram tanah lembek secara kuat.
Hasil temuannya itu diberi nama sistem pondasi cakar ayam. Perhitungan yang dipakai saat itu (1961), masih kasar dengan dimensi 2,5 kali lebih besar dibanding dengan sistem pondasi cakar ayam yang diterapkan sekarang. Meski begitu, ternyata biayanya lebih murah dan waktunya lebih cepat daripada menggunakan sistem tiang pancang. Menara tersebut dapat diselesaikan tepat pada waktunya, dan tetap kokoh berdiri di daerah Ancol yang sekarang sudah menjadi kawasan industri.
Pondasi cakar ayam terdiri dari plat beton bertulang dengan ketebalan antara 10-15 cm, atau tergantung dari jenis konstruksi dan kondisi tanah di bawahnya.
Di bawah plat beton dibuat sumuran pipa-pipa dengan jarak sumbu antara 2-3 m. Diameter pipa 1,20 m, tebal 8 cm, dan panjangnya tergantung dari beban di atas plat serta kondisi tanahnya. Untuk pipa dipakai tulangan tunggal, sedangkan untuk plat dipakai tulangan ganda.
“Sistem pondasi ini bisa diterapkan pada tanah lunak maupun tanah keras. Tapi menurut pengalaman, Pondasi cakar ayam lebih ekonomis bila diterapkan atas tanah yang berdaya dukung 1,5 sampai 4 ton per meter persegi.
Dasar pemikiran Iahirnya pondasi cakar ayam adalah memanfaatkan tekanan tanah pasif, yang pada sistem pondasi lain tak pernah dihiraukan. Plat beton yang tipis itu akan mengambang di permukaan tanah. Sedangkan, kekakuan plat ini ditahan oleh pipa-pipa yang tetap berdiri akibat tekanan tanah pasif. Dengan demikian, plat dan konstruksi di atasnya tidak mudah bengkok.
Pada sistem pondasi lain, yang menggunakan plat beton dengan balok pengaku, maka kekakuan itu berasal dan konstruksinya sendiri. Sedangkan pada sistem pondasi cakar ayam, kekakuan didapat dari tekanan tanah pasif dan dengan daya dukung yang sama, volume beton pada cakar ayam akan berkurang dan membuat konstruksinya menjadi lebih ekonomis.
Hak Paten
Sistem pondà si cakar ayam sangat sederhana dan mudah diterapkan di daerah yang peralatan modern dan tenaga ahli susah didapat. Sampai batas tertentu, sistem ini dapat menggantikan pondasi tiang pancang. Misalnya, pada gedung berlantai 3-4 sistem cakar ayam biayanya akan sama dengan pondasi tiang pancang 12 meter.
Pada sistem tiang pancang, semakin panjang tiang pancang yang digunakan, maka akan memakan biaya yang semakin besar. Terlebih jika alat pemancangan dan tenaga ahli yang harus didatangkan dari tempat lain. Dengan kemampuan yang sama, sistem cakar ayam dapat menghemat biaya hingga 30%.
Pelaksanaan sistem ini dapat dilakukan secara simultan, tanpa harus bergiliran. Misalnya, pada pondasi menara, dapat dikerjakan secara bersamaan dalam jumlah yang besar. Seluruh sumuran beton dicetak dengan cetakan biasa di lokasi proyek, sesuai dengan standar. Oleh karena itu, sistem ini sangat menghemat waktu pengerjaan proyek.
Bagi daerah yang bertanah lunak, pondasi cakar ayam tidak hanya cocok untuk membangun proyek gedung, akan tetapi juga untuk membuat jalan dan landasan.
Banyak Bangunan yang telah dibangun Prof Sedijatmo menggunakan sistem ini, antara lain: ratusan menara PLN tegangan tinggi, hangar pesawat terbang dengan bentangan 64 m di Jakarta dan Surabaya, antara runway dan taxi way serta apron di Bandara Sukarno-Hatta Jakarta, jalan akses Pluit-Cengkareng, pabrik pupuk di Surabaya, kolam renang dan tribune di Samarinda, ratusan bangunan gedung bertingkat di berbagai kota dan masih banyak lagi.
Pondasi cakar ayam ini juga telah dikenal di berbagai negara, bahkan telah mendapat pengakuan paten internasional dari 11 negara antara lain: Indonesia, Jerman Timur, Inggris, Prancis, Italia, Belgia, Kanada, Amerika Serikat, Jerman Barat, Belanda; dan Denmark.
Teknologi ini membuktikan bahwa karya anak bangsa Indonesia tidak kalah jika dibandingkan dengan karya bangsa lain. Maka, tak heran jika kontribusinya yang luar biasa bagi pengetahuan teknik, menobatkan Sedijatmo meraih sejumlah penghargaan internasional.
Namun, Ir. Sedijatmo bukanlah ilmuwan yang haus akan penghargaan, hal itu ditunjukkan dengan sikap rendah hati dan dedikasinya yang tinggi terhadap bangsa. Dia selalu menekankan pentingnya intuisi dan pengamatan terhadap alam semesta. Karya cakar ayamnya merupakan bukti bagaimana ciptaannya terilhami oleh akar pohon kelapa.
Nama Sedijatmo kemudian diabadikan sebagai nama jalan bebas hambatan dari Jakarta menuju bandara Soekarno-Hatta. Profesor Sedijatmo meninggal dunia di usia 75 tahun pada 1984 dan dimakamkan di Karanganyar. Pemerintah Indonesia menganugerahkan Bintang Mahaputra Kelas I kepada Sedijatmo atas jasa-jasanya. (JP)